Rabu, 21 November 2018

Cerita Anak Negeri

Pada tanggal 21 januari 2014 sampai saya di salah satu kota mega di Indonesia, di Pulau Sumatera yaitu Palembang. 

22 januari 2014 saya lanjutkan perjalanan bersama salah satu kawan ke -entah apa namanya, kota, desa atau dusun saya bingung- Indralaya, masih saya ingat kali pertama saya ke Indralaya pertengahan 2013, tempat yang gersang, yang masih kurang sentuhan pembangunan, namun tetap tidak terasa asri. Yang ada dibenak kala pertama tempat ini bak tempat persinggahan atau hanya sebagai alur mobil-mobil pengangkut segala macam jenis benda. Tempat yang siangnya terlalu bising dengan suara mobil-mobil berukuran besar dan kala malam sunyi dengan sesekali tetap suara kendaran yang didengar. 

Kali ini negeriku tercinta sedang ber-trend banjir, entah dikarenakan musim penghujan entah karena faktor lain. Diperjalanan pagi dari Palembang menuju Indralaya terasa angin dingin menerpa wajah, namun kami harus beradu dengan asap kendaraan serta beradu dengan mobil-mobil yang berukuran luar biasa dilengkapi dengan infrastruktur jalanan yang masih terbilang cukup. Ku nikmati setiap mil yang kami tempuh. Kurang lebih 300 meter dari persimpangan 3 yang kami lewati entah mengapa mataku terpusat pada bangunan sederhana, sekolah dasar, tempat pejuang-pejuang kecil yang kelak akan membangun negeri Ini, daerah itu dekat dengan rawa, kala ini musim penghujan, lapangan sekolah mereka digenangi air. Ada satu hal yang sanggup membuat mataku berair, susunan kayu yang disusun di hadapan tiang sang merah putih yang aku terka menjadi tempat sang pejuang-pejuang kecil melaksanakan aktifitas rutin yaitu upacara bendera. 

Haruku bertambah ketika memikirkan bahwa genangan air tidak menjadi masalah mereka untuk sekedar menghormati sang dwi warna, khayalku sampai pada mereka melaksanakan upacara, menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan semangatnya dengan jari-jari mereka yang tersusun rapi di ujung topi merah.

Haruku menjadi amarah ketika terbayang kelakukan pemimpin negeri yang memperkosa ibu pertiwi, mengeruk bumi ibu pertiwi, disaat penerus negeri untuk menimba ilmu-pun masih harus menghadapi kendala yang seharusnya bisa ditanggulangi. Haru dan amarah yang bercampur kala itu, tetesan rintik hujan bersama air mataku, hanya satu pesanku untuk ibu pertiwi. Ibu, anak-anakmu akan terus berjuang.

Ditulis pada 29 Januari 2014
(Adhnn)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar